Perlu diketahui bahwa Kiyai Dahlan bermuhammadiyah hanya 11 tahun
(1912-1923). Dan selama 11 tahun itu beliau baru sempat membumikan dan
mengaplikasikan ayat-ayat Alquran tidak lebih dari 50 ayat.
Di tahun 1964, kami anak-anak muda yang kebetulan menjadi murid
salah satu murid Kyai Dahlan yang paling muda (yakni Kyai Raden Haji
Hadjid) membukukan pelajaran Kyai Dahlan dalam bentuk stensilan untuk
menyong-song Munas Tabligh di Surabaya, menjelang Gestapu. Kami tahu
persis bagaimana pelajaran Kyai Dahlan yang dicatat oleh Kyai Raden Haji
Hadjid. Kyai Raden Haji Hadjid adalah satu-satunya murid yang sempat
mencatat pelajaran-pelajaran Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Yang saya tangkap, cara Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam mengungkap
ayat Alquran itu cukup menarik. Bayangkan, yang namanya pelajaran
Alquran 100 tahun yang lalu, kira-kira seperti apa yang diajarkan di
kalangan umat. Paling tinggi mungkin dengan terjemahan, itu sudah
lumayan. Kalau pun ada tafsirnya, alhamdulillah. Sebab, yang banyak,
Alquran itu hanya untuk hafalan. Namun, Kyai Dahlan, saya sebut, luar
biasa dalam menangkap isyarat-isyarat ayat-ayat Alquran.
Ada surat pendek yang paling disenangi makmum kalau surat itu
dibaca iman shalat tarawih, yaitu surat Wal-Ashri (Al-Ashr). Surat ini
ternyata diajarkan oleh Kyai Dahlan kepada murid-muridnya selama 7
bulan. Dan nama Wal Ashri ini diabadikan dalam satu lembaga yaitu
Pengajian Wal Ashri yang sampai sekarang masih ada.
Demikian pula dalam mengungkap surat Al-Maun. Kalau orang bisa
mendengarkan kete-rangan tafsirnya saja dari Kyai Dahlan mungkin sudah
mengangguk-angguk, tetapi lebih dari itu, ternyata kemudian malah
melahirkan satu karya yang luar biasa, berupa karya sosial dan karya
pendidikan, dengan mengungkapkan kandungan surat Al-Maun tersebut.
Peristiwa ini cukup menggegerkan. Dulu, dikenal pula istilah “ge-gernya
Ara’aital”. Alquran yang biasanya ha-nya untuk bacaan, oleh Kyai Dahlan
diwujudkan dalam bentuk karya amal.
Konon, kata Cak Nur (Nurcholis Majid), yang pernah mengamati
organisasi Islam baik di Indonesia maupun di dunia, organisasi Islam
yang terbesar di Indonesia dan dunia adalah Muhammadiyah. Maksudnya,
organisasi yang punya warisan yang membekas dalam bentuk amal itu tidak
ada yang seperti Muhammadiyah. Bayangkan, perguruan tinggi yang dimiliki
Muhammadiyah berjumlah 130 lebih. Setiap tahun 40 ribu sarjana
diwisuda. Setiap tahun berapa juta lulusan sekolah dihasilkan dari
sekolah Muhammadiyah.
Tentang hal ini pernah saya gugat di Malang, ketika itu ada Pak
Syafii Maarif dan Pak Umar Anggoro Jenie. Dari sekian juta yang telah
diluluskan dari sekolah Muhammadiyah berapa yang kembali pada
Muhammadiyah? Pak Yunan Yusuf agak bingung juga menjawab pertanyaan ini.
Demikian pula, dari sekian jumlah itu berapa yang kemudian menjadi
Mujahid Dakwah Muhammadiyah. Kita kesu-litan untuk menjawab.
Pesan akhir pernah disampaikan Kyai Dahlan kepada Ki Bagus
Hadikusumo dalam bahasa Jawa: “Gus, pokoke agama iku di-ngamalke” (Ki
Bagus, agama itu intinya di-amalkan).
Muhammadiyah menjadi besar dan gagah serta diperhitungkan karena
karya amalnya. Kalau umpamanya begitu banyak tokoh-tokoh yang tampil
dengan berbagai bidang disiplin ilmu, baik itu ahli tafsir, ahli hadis,
dan macam-macam, kalau kita lihat berapa sebenarnya kitab yang dibaca
oleh Kyai Ahmad Dahlan, tidak ada 10 kitab. Kalau kita baca bukunya
Yusron (Drs. Yusron Asrofie) bisa kita lihat berapa kitab yang dibaca
Kyai Dahlan. Namun, yang menarik adalah beliau sanggup menampilkan Islam
ini dalam bentuk karya amal.
Inilah rupanya yang sekarang ini menjadi persoalan. Beberapa waktu
lalu rombongan dari UMY datang ke Bandung, ke Pondoknya Aa Gym, Darut
Tauhid. Alhamdulillah, kesan dari beliau-beliau ini bahwa yang dilakukan
Darut Tauhid sejalan dengan faham kita. Dalam hal berdoa ketika
menyebut nama Rasulullah, tidak memakai sayyidina. Ada yang berkomentar:
“Mengapa di Muhammadiyah tidak ada yang seperti di Darut Tauhid? Yang
dikembangkan itu tidak hanya seminar saja, tetapi juga proyek-proyek
yang nyata. Koq sepertinya hampir-hampir tidak ada di Muhammadiyah yang
seperti itu. Kalau misalnya ditanya, siapa kira-kira pengganti, penerus
yang kira-kira siap meneruskan generasi Kyai Dahlan itu. Sebuah tanda
tanya besar!
Ketika kami bersama Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah pergi ke
Sumatera Barat. Secara jujur beliau mengatakan bahwa di Sumatera Barat
sudah hampir habis yang namanya Buya. Tetapi kalau ‘Buya Ekonomi’
banyak. ‘Buya Politik’ juga banyak. Buya yang dikenal sesuai aslinya
hampir sudah tidak nampak.
Kita dapati dalam buku Pelajaran Kyai Dahlan, salah satu beliau
cara mengajar Alquran adalah selalu dengan menanyakan kepada
murid-muridnya apakah sudah diamalkan atau belum ayat-ayat yang telah
diajarkan. Jika belum, Kyai Dahlan akan menerangkan lagi, sampai
akhirnya murid-muridnya menjawab sudah mengamalkan baru kemudian Kyai
Dahlan menambahkan pelajaran yang baru. Itulah mengapa Kyai Dahlan
mengajarkan surat Wal-Ashri sampai selama tujuh bulan!
Sayang, pelajaran-pelajaran Kyai Dahlan ini hampir tidak dikenal oleh para aktifis Muhammadiyah sekarang ini.
Ada peristiwa bersejarah yang tidak pernah diungkap oleh sejarah.
Tahun 1921 ada Sidang Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muham-madiyah. Di
situ para Assabiqunal Awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan
generasi pertama pimpinan dan aktivis Muhammadiyah. Yang menarik, dalam
pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau
aktivis Muhammadiyah. Menariknya adalah beliau bisa tampil meyakinkan
dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama,
berkumpul. Berarti orang itu memang telah akrab dengan para tokoh
Muhammadiyah. Orang itu adalah Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim punya gagasan sebaiknya Muhammadiyah menjadi partai
politik. Kita tahu, saat itu sedang semangat dan bangkitnya SI. SI
sudah tahu kalau Muhammadiyah memiliki ummat. Rupanya Haji Agus Salim
mencoba mendekati Muhammadiyah karena punya ummat. Kita tahu kira-kira
bagaimana beliau yang diplomat dan politikus ulung itu menjelaskan
tentang partai politik. Semua yang hadir dalam sidang itu terpukau dan
setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik.
Kyai Dahlan yang tadinya memimpin sidang dengan duduk, lalu berdiri
sambil memukul meja. (Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya,
Kiyai Hadjid, pelaku sejarahnya: memukul mejanya keras, apa tidak). Kyai
Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan. Kalau hadirin bisa menjawab
silahkan Muhammadiyah menjadi partai politik. Pertanyaannya sangat
sederhana. Pertama, apa saudara-saudara tahu, faham betul apa Islam itu?
Kedua, apa saudara berani beragama Islam? Yang hadir bungkam semua.
Termasuk Haji Agus Salim sendiri tidak sanggup menjawab.
Pak Hadjid ketika bercerita kepada saya mengomentari peristiwa itu:
“Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu. Bukannya
kami tidak tahu pertanyaan itu, tetapi kami tidak sanggup menjawab
pertanyaan itu. Kami mengerti betul yang dimaksud pertanyaan itu. Apa
Islam itu kami mengerti”.
Saya kemudian juga menjadi tahu apa bentuk pertanyaan itu dalam
salah satu pelajaran beliau, ketika beliau mengungkap ayat dalam surat
al-An-am ayat 162-163. “Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa
mamaati lillaahi rabbil alamin”. (Katakanlah hai Muhammad, sesungguhnya
shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah). Lillah di
sini sebagai adamul khasr, menegaskan ‘hanya untuk Allah’, Rabbil
‘alamin, pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu
bagi-Nya; tidak untuk selain Allah. Tidak untuk anak-anakku, tidak untuk
isteri, keluargaku, tidak untuk bangsaku, tidak untuk tanah airku. Wa
bidzaalika umirtu, dan dengan itu, hidup yang model seperti itu, aku ini
diperintah, tidak untuk yang lain-lain.
Melihat maknanya yang demikian, beliau-beliau ini tidak sanggup
menjawab dua perta-nyaan Kyai Dahlan tersebut. Apalagi dengan
pertanyaan: “Beranikah kamu beragama Islam”. Tidak ada yang berani
menjawab!
Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, 57 tahun kemudian
terjawab satu. Yaitu pada Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun
1978. Di sana ada Komisi Ideo-logi yang membahas tentang Prinsip-prinsip
Dasar Islam yang dikonsep oleh Pak Djindar Tamimy. Baru di sana itu
kita mendapatkan rumusan tentang Islam. Itupun ternyata tidak gampang
diterjemahkan. Sebab, kalau bukan Pak Djindar dan orang-orang yang
dekat, tidak sanggup mengungkap hasil Muktamar ke-40 tersebut. Namun,
sudah menjadi kesepakatan bahwa itu adalah gagasan tentang Islam.
Pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani
menjawab.
sumber : http://www.sangpencerah.com/2014/03/tujuh-pelajaran-kyai-ahmad-dahlan-yang.html
Post a Comment