PADA 2014 disebut sebagai “tahun
politik”. Tahun ini dua perhelatan politik lima tahunan, pemilu
legislatif dan pemilihan presiden, akan dilangsungkan.
Lazimnya perhelatan politik, kontestan atau kandidat akan berusaha
memperbanyak dan memperlebar sayap dukungan politik. Modusnya pun
beragam, dari mulai yang bersifat personal dengan mendatangi tokoh-tokoh
tertentu maupun yang bersifat institusional dengan mendatangi
ormas-ormas tertentu.
Meskipun posisi Muhammadiyah sangat jelas yaitu sebagai gerakan
Islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Alquran
dan As-Sunnah (baca Anggaran Dasar Pasal 4 Ayat 1) yang sudah tentu
tidak mempunyai keterkaitan dengan kekuatan politik mana pun, faktanya
ketika datang “musim politik” selalu saja ada yang berusaha menyeret
masuk atau setidaknya mencoba menghimpitkan Muhammadiyah dengan
salahsatu kontestan atau kandidat politik tertentu.
Posisi politik Muhammadiyah
Dalam rumusan Khitah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ditegaskan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memengaruhi prosesdankebijakannegara agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
Dalam rumusan Khitah Perjuangan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ditegaskan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan memengaruhi prosesdankebijakannegara agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan
berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan
nasional yang damai dan berkeadaban.” “Muhammadiyah tidak berafiliasi
dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau
organisasi mana pun.
Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang
perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai prinsip amar
ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang
demokratis dan berkeadaban.”
Rumusan khitah tersebut secara jelas (idzhar) menegaskan tentang
posisi politik Muhammadiyah, di mana politik lebih dimaknai sebagai
bentuk kegiatan kemasyarakatan yangbersifat pembinaan atau pemberdayaan
masyarakat maupun kegiatankegiatan politik tidak langsung (high politics) yangbersifat memengaruhikebijakannegara dengan perjuangan moral (moral force).
Istikamah berkhitah dan kasus “Imam Salat”
Rumusan khitah di atas membawa konsekuensi pada keharusan sikap dan posisi politik Muhammadiyah untuk tetap istikamah dan sejalan dengan khitah tersebut. Pengertian istikamah di sini tentu harus dimaknai secara dinamis sejalan perkembangan dan dinamika politik yang terjadi dan langgam kepemimpinan di perserikatan yang tidak selalu sama dalam setiap periode kepemimpinan.
Rumusan khitah di atas membawa konsekuensi pada keharusan sikap dan posisi politik Muhammadiyah untuk tetap istikamah dan sejalan dengan khitah tersebut. Pengertian istikamah di sini tentu harus dimaknai secara dinamis sejalan perkembangan dan dinamika politik yang terjadi dan langgam kepemimpinan di perserikatan yang tidak selalu sama dalam setiap periode kepemimpinan.
Menelaah kepemimpinan Muhammadiyah pasca-Orde Baru, akan didapati
perbedaan langgam kepemimpinan dalam relasinya dengan partai politik.
Era Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii, 1998-2005) langgam yang
ditampilkan adalah “menjaga jarak yang sama” (keep close)
dengan semua partai politik. Sementara di era Din Syamsuddin (Bang Din,
2005-2015) langgam yang ditampilkan adalah“menjaga kedekatan yang sama” (keep distance) dengan semua partai politik.
Dua langgam ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pribadi Buya Syafii
maupun Bang Din. Bila langgam pertama lebih menggambarkan “kekakuan” (rigid) Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan partai politik, langgam kedua lebih menggambarkan relasi yang lebih “lunak” (soft).
Buya Syafii adalah sosok pribadi yang sebelumnya tidak pernah
berkecimpung sama sekali di dunia politik kepartaian sehingga wajar bila
langgam yang ditampilkannya terkesan lebih “kaku”.
Sementara Bang Din sebelum menjadi ketua umum Muhammadiyah sempat
aktif di Golkar— saat itu (Orde Baru) masih menyebut dirinya orsospol
dan belum menjadi partai politik sehingga wajar pula ketika langgamnya
tampak lebih “lunak” dan lebih realistis dalam menjalin relasi dengan
partai politik. Konsekuensi dari langgam “menjaga kedekatan yang sama”,
Muhammadiyah dituntut untuk benar-benar istikamah menjaga kedekatan yang
sama dengan semua partai politik, termasuk kandidat-kandidat calon
presiden (capres).
Muhammadiyah tidak boleh menunjukkan keberpihakan kepada kandidat
tertentu ketika keberpihakan tersebut semata dilandasi kepentingan
politik yang bersifat pragmatis misalnya sekadar berharap ada kader
Muhammadiyah yang akan dipinang menjadi pasangan capres tertentu.
Pragmatisme itu wilayahnya partai politik dan Muhammadiyah itu bukan
partai politik sehingga tidak tepat bila Muhammadiyah terperangkap pada
politik dukung mendukung yang bersifat pragmatis.
Kalaupun misalnya Muhammadiyah akan mendukung kandidat capres
tertentu, cara yang ditempuhnya harus tetap elok. Begitu juga kalau
misalnya ada kader Muhammadiyah yang layak dan menjadi “rebutan”
beberapa capres, pilihan untuk mendampingi capres tertentu pun harus
tetap didasarkan pada nilai-nilai idealitas.
Capres yang akan dipilih bukan hanya karena pertimbangan
popularitasnya, melainkan harus mendasarkan pada visinya. Karena
acuannya adalah khitah dan nilai-nilai idealitas politik, menjadi kurang
elok ketika misalnya Muhammadiyah menerima capres tertentu dan
memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk menjadi imam salat(
meskipun hanya imam salat zuhur yang bacaan imamnya sirri).
Merujuk pada kebiasaan Rasul Muhammad saat sakitnya, yang kerap
memberikan kesempatan kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi
imam salat, yang kemudian ditafsir oleh umat Islam saat itu sebagai
“sinyal dukungan” bahwa estafet kepemimpinan umat Islam pasca-Rasul akan
jatuh ke tangan Abu Bakar–– dan dalam perjalanan sejarahnya memang
terbukti, pemberian kesempatan untuk menjadi imam salat tentu akan
ditafsir sebagai bentuk “sinyal dukungan” yang bersifat simbolik dari
Muhammadiyah kepada capres bersangkutan.
Padahal bila menengok fikih salat terkait persyaratan ideal untuk
menjadi imam salat, tidaklah gampang: harus orang yang paling baik
bacaannya (aqra’uhun), orang yang paling wara’ atau mampu menjaga diri
dari hal yang bersifat syubhat sekalipun, dan orang yang paling tua
usianya. Bagi Abu Bakar, untuk memenuhi persyaratan tersebut tentu
bukanlah sesuatu yang sulit.
Kasus “imam salat” ini sedikitnya telah mencederai posisi politik
Muhammadiyah. Secara simbolik, kasus “imam salat” ini juga bisa ditafsir
sebagai bentuk kegenitan atau keinginan dari Muhammadiyah untuk
mengambil peran-peran politik yang bersifat praktis dan pragmatis.
Kalau Muhammadiyah sampai jatuh pada kubangan pragmatisme politik,
lantas apa bedanya dengan partai politik. Tentu ini kemunduran, untuk
tidak mengatakan kemerosotan Muhammadiyah dalam berpolitik. Wallahualam.
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta(UMJ)
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta(UMJ)
Sumber : http://nasional.sindonews.com/read/2014/03/29/18/848783/muhammadiyah-dan-pilpres-2014
Post a Comment