Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di
kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir
1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah
Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta.
Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan
agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’
(tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren
Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab
fiqh dan tasawuf.
Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri
Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya
ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan
pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia
menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama
Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian
menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri
keduanya meninggal. Dari istri ketiga ini ia memperoleh lima anak.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah
mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan
mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim,
mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang
besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk
anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus
sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan
landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok
pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua
anggota PPKI.
Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi
Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah
(1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran
Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat
menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah.
Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini
menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya,
mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua
landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya.
Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq
Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954).
Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika
dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah
termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk
pelembagaan Islam.
Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk
alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam
upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan
beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas
memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil
penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan
hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik
pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang
membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum
Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan
Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali saat menyampaikan
pidato di depan Sidang BPUKPKI.
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah
adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu
pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan
ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta
oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap
tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB
Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat
Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi
di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan
patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan
tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan
ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi
sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.
Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan
Nasional Indonesia.
Post a Comment